Posted by : admin, pada : 10 Februari 2017, Dibaca 290 kali
Tweet
Puluhan
siswa SD Negeri Kuwang, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan berkumpul di
halaman sekolah mereka.
Sembari
menggenggam botol bekas air mineral, setiap siswa tampak ceria dan semangat
pagi itu, Selasa (7/2/2017).
Di hari
nan cerah tersebut, bersama mahasiswa Labmas PKMD (Laboratorium Masyarakat dan
Pembelajaran Kesehatan Masyarakat Desa) Universitas Respati Yogyakarta (Unriyo)
siswa-siswa tersebut membuat ecobrick, yaitu memasukan plastik-plastik bekas
kedalam botol bekas hingga padat dan botol menjadi keras.
Botol
yang telah padat kemudian dapat dibuat menjadi meja atau kursi.
"Baru
pertama kali buat ecobrick. Biasanya dulu langsung dibuang botolnya," ujar
Narista siswa kelas 5.
Narista pun mengaku membuat ecobrick seperti halnya membuat kerajinan lainnya. Meski harus bersabar memasukkan plastik kedalam botol, dan merekatkan masing-masing botol menggunakan lem, ia merasa puas jika ecobrick buatannya bisa dijadikan kursi.
"Direkatkan
bisa jadi kursi. Membuatnya juga mudah," lanjutnya.
Gede Praja Mahardika, Koordinator Lingkungan Labmas PKMD Uniryo menjelaskan ecobrick ini merupakan seni pengolahan sampah. Sampah plastik yang biasanya hanya dibakar dan menjadi polusi bisa didaur ulang menjadi barang yang bermanfaat. Kegiatan ini juga mendukung program menuju hari bebas sampah 2020.
"Selain
dijadikan untuk meja maupun tempat duduk. Bisa dibuat juga menjadi batu bata
untuk bahan bangunan dengan ditambahkan semen," ujar mahasiswa asal Bali
tersebut.
Gede
melanjutkan, fokus utama dalam pelatihan ecobrick ini adalah mengajarkan
anak-anak agar mengerti pentingnya pemilahan sampah organik dan organik.
Sehingga anak-anak dapat turut berperan menjaga lingkungan sejak usia dini.
"Untuk
mengajarkan anak-anak pentingnya menjaga lingkungan karena sampah harus
dipilah," lanjutnya.
Gede dan teman-teman Labmas yang berjumlah 13 orang pun mengaku takjub dengan antusias siswa SD Negeri Kuwang tersebut. Menurutnya, mereka mempunyai rasa ingin tahun yang sangat tinggi. Padahal dibutuhkan kesabaran ekstra untuk membuat ecobrick.
"Ecobrick
diajarkan dari kelas 1 sampai 6. Antusias sangat tinggi karena disuguhkan
dengan permainan juga," ujarnya.
"Sebenarnya
sangat mudah membuatnya karena bahan sangat mudah dicari, plastik keras pun
bisa dipotong untuk memadatkan botol. Perekatnya bisa menggunakkan kawat dan
lem-lem kaca. Tetapi ya itu memadatkannya lama. Dua jam bisa hanya dua
botol," ungkapnya.
Menurut Gede, di masa sekarang mahasiswa ketika turun ke masyarakat sudah tidak zamannya lagi mengandalkan program papanisasi maupun fisik. Namun, justru harus diperkuat dengan program inovatis yang bermanfaat.
"Sekarang
KKN tidak lagi papanisasi tapi bagaimana caranya meninggalkan ilmu yang
bermaanfaat," tegasnya.
Selain ecobrick, siswa kelas 4 hingga 6 juga dilatih menanam tanaman toga dan pertikultur yaitu pemanfaatan barang bekas untuk ditanami sayur seperti kangkung, cabai dan lain sebagainya. Selain itu juga diajarkan membuat biofori yaitu lubang sedalam satu meter untuk sampah organik yang dicampur tetes tebu atau air kelapa agar cepat terurai dan menjadi pupuk kompos.
"Harapannya mengajarkan anak untuk peduli lingkungan. Ketika kita bersahabat dengan lingkungan, maka lingkungan akan bersahabat dengan kita," pungkasnya.
Sumber: tribunjogja.com
Kategori :